Jakarta, bukti.id - Pandemi Covid-19 berimbas ke semua persendian ekonomi, para pelaku usaha yang juga terimbas, termasuk soal pembayaran pajak. Menyikapi itu Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang diperpanjang hingga Desember 2020. Sebelumnya, pembebasan pembayaran PPh berlaku, terhitung mulai April hingga September 2020.
Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pemerintah memberi pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh untuk mempercepat penanggulangan wabah COVID-19. Pembebasan untuk barang yang diperlukan, seperti obat-obatan, vaksin, peralatan laboratorium, alat pendeteksi, alat pelindung diri (APD), peralatan untuk perawatan pasien, dan lainnya.
Sementara, untuk sektor jasa, pemerintah juga memberikan pembebasan PPN untuk jasa yang diperlukan dalam perannya di penanganan wabah COVID-19 seperti jasa konstruksi, jasa konsultasi, teknik, dan manajemen, jasa persewaan, dan jasa pendukung lainnya. Fasilitas pembebasan PPN tersebut diberikan kepada badan atau instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak- pihak lain yang ditunjuk.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menegaskan perihal itu saat menggelar diskusi virtual. Dia menegaskan dimungkinkan dilakukan perpanjangan hingga Desember 2020.
"Kemungkinan kami perpanjang sampai Desember, kami review lagi," kata Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam acara diskusi virtual, Senin (13/7/2020).
Dia menyebut, pada normalnya UMKM harus melakukan pembayaran pajak penghasilan 0,5 persen dari omzet penghasilan. Memahami kondisi pandemi ini, pemerintah kemudian meluncurkan program pembebasan untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun atau Rp 13,1 juta per hari.
Di masa pandemi ini, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi untuk UMKM sebesar Rp 123,46 triliun untuk UMKM. Sebanyak Rp 2,4 triliun dialokasikan untuk insentif pembebasan pajak.
Disebutkan, namun hingga saat ini belum semua UMKM menggunakan adanya insentif pembebasan pajak. Dijelaskan, untuk bisa mendapatkannya, mereka lebih dulu harus mengajukan permohonan.
"Jadi itu kesempatan yang diberikan, artinya bukan otomatis dibebaskan," terangnya.
Untuk diketahui, pada 2019 ada 2,3 juta pelaku UMKM yang membayar pajak penghasilan 0,5 persen ke Ditjen Pajak. Sampai pertengahan tahun 2020, dan baru 201 ribu UMKM saja yang baru mengajukan permohonan pembebasan pajak.
Ditambahkan, kalau Ditjen Pajak bahwa beberapa waktu lalu sudah menyebarkan jutaan email berisi pemberitahuan ke pelaku UMKM soal fasilitas pajak ini.
Untuk diketahui, dikutip dari https://www.pajak.go.id/ pertengahan 2013 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini ditujukan untuk UMKM di Indonesia, mengatur pengenaan pajak untuk wajib pajak yang memiliki omset kurang dari 4.8 miliar dalam satu tahun.
Salah satu alasan diterbitkannya PP 46/2013 adalah untuk memberikan kepastian peraturan dan kemudahan dalam urusan perpajakan bagi UMKM yang pada saat itu sedang berkembang.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, jumlah UMKM Indonesia tahun 2013 adalah 57.895.721 unit, sedangkan pertumbuhan jumlah UMKM Indonesia tahun itu sebesar 2,41 persen. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun 2009-2013 mencapai 57,6 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan 6,7 persen.
Prokontra terkait dengan PP 46 tahun 2013 sendiri juga telah lama berdengung. Aspek keadilan merupakan salah satu kontra yang sering disoroti mengingat pajak penghasilan PP 46/2013 termasuk dalam pajak final. Pajak yang bersifat final tidak memandang apakah hasil akhir dari usaha wajib pajak tersebut laba atau rugi, sepanjang wajib pajak memiliki omset maka wajib pajak harus membayar pajak.
Dalam kondisi akhir penghasilan bersih dalam satu tahun kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib pajak orang pribadi UMKM tetap membayar pajak sedangkan wajib pajak orang pribadi karyawan tidak. Tak heran jika wajib pajak mengeluh terkait tarif satu persen dari omset tersebut, sehingga Presiden Joko Widodo mengajukan usulan untuk menurunkan tarif pajak bagi wajib pajak UMKM. Awalnya mengajukan usul penurunan tarif pajak menjadi 0.25 persen dari omset.
Namun, setelah beberapa kali rapat dengan para menteri terkait, pemerintah sepakat untuk hanya menurunkan tarif pajak sampai 0.5 persen. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah 23/2018. Penurunan tariff hanya diberikan sampai 0,5 persen karena penerimaan negara dapat mengalami penurunan yang signifikan dalam jangka pendek. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan bahwa negara dapat kehilangan penerimaan 1-1.5 triliun di tahun 2018 karena penyesuaian tarif baruPP 23/2013.
PP 23/2018 Angin Segar untuk UMKM
Perekonomian Indonesia saat ini didukung oleh UMKM. Tahun lalu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mencatat, kontribusi sektor UMKM terhadap PDB meningkat dari 57,8 persen menjadi 60,34 persen. Insentif fiskal, yakni penurunan tarif pajak UMKM bisa menjadi angin segar bagi para pelau. Sebab, secara otomatis pajak yang dibayarkan lebih rendah dari yang sebelumnya.
Pengusaha akan mendapatkan tambahan simpanan modal yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha mereka, khususnya bagi pengusaha yang baru merintis. Selain itu, hal ini juga akan membuat pengusaha menjadi lebih kompetitif.
Kemudahan yang diterima oleh UMKM dari dirilisnya PP 23/2013 tidak hanya terkait penurunan tarif. Dalam peraturan terbaru, wajib pajak UMKM diberikan pilihan untuk memanfaatkan PP 23/2013 atau langsung menggunakan tarif normal pasal 17. Pembebasan ini sangat berguna bagi wajib pajak yang memiliki margin keuntungan yang rendah karena dapat langsung menggunakan tariff normal pasal 17. Selain itu, PP 23/2013 juga menyebutkan batasan waktu ( sunset clause ) bagi wajib pajak yang memilih menggunakan tarif final, yakni tiga tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas, empat tahun untuk badan tertentu (persekutuan komanditer, koperasi, dan firma) dan tujuh tahun untuk orang pribadi.
Direktorat Jenderal Pajak optimis insentif fiskal PP 23/2013 menjadi daya tarik tersendiri bagi UMKM untuk masuk ke dalam administrasi perpajakan dan menjadi basis data perpajakan Indonesia. Setelah wajib pajak UMKM masuk dalam sistem administrasi perpajakan, tugas aparatur pajak selanjutnya adalah melakukan pembinaan dan pengawasan. Sunset clause yang diberikan pemerintah dijadikan sebagai kurun waktu untuk membuat wajib pajak sadar terkait kewajiban perpajakannya.
Saat wajib pajak menggunakan tarif PP 46/2013, mereka akan selamanya menggunakan tarif 1 persen sepanjang omset penghasilan mereka kurang dari 4.8M dalam satu tahun. Hal ini cenderung dijadikan jalan penghindaran pajak oleh wajib pajak nakal dengan cara menurunkan omset mereka dibawah 4.8M. Selain itu, dampak lainnya adalah mereka cenderung tidak berhasrat untuk mengembangkan usahanya agar tidak dikenai tarif pajak yang lebih tinggi.
Pemerintah khususnya aparatur pajak dan pihak terkait perlu untuk melakukan pembinaan wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran pajak mereka. Kesadaran pajak yang tinggi berujung pada kepatuhan pajak sukarela ( tax voluntary compliance ), terlebih konsep pemungutan pajak peraturan ini bersifat presumptive tax. Konsep ini mengarah pada tata cara pemajakan dimana pajak yang dipungut berdasarkan pada dugaan sehingga kejujuran wajib pajak adalah sumber utama.
Selain meningkatkan kesadaran pajak, aparatur pajak perlu melakukan pembinaan untuk tatacara pembukuan. Salah satu pembinaan yang dapat diberikan adalah pembinaan terkait aplikasi Laporan Keuangan Usaha Mikro (Lamikro) dengan dukungan APBN. Aplikasi tersebut merupakan laporan akuntansi sederhana secara online khusus usaha mikro.
Adapun tugas pemerintah yang terakhir adalah melakukan upaya agar PP 23/2018 terimplementasi dengan benar. Diantaranya dengan meningkatkan kapasitas aparatur pajak dan melakukan penegakan hukum perpajakan. Penegakan hukum dibutuhkan ketika batas waktu penggunaan PP 23/2013 sudah berakhir, diharapkan nantinya sudah tidak ada lagi wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh James Alm, Gary H. McClelland dan William D. Schulze dalam Why Do People Pay Taxes?, kepatuhan wajib pajak tercapai jika probabilitas pemeriksaan pajak terhadap mereka tinggi dan adanya sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Mengacu penelitian tersebut, jika ternyata masih ada wajib pajak yang tidak taat pajak maka perlu dilakukan pemeriksaan dan proses penegakan hukum. Menurut James, kepatuhan wajib pajak akan meningkat tanpa ada pemeriksaan atau sanksi, jika masyarakat puas dengan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus tepat dan transparan dalam mengalokasikan penerimaan negara. (*)
Editor : Tudji