Lamongan, bukti.id – Hearing atau rapat dengar pendapat Pansus I DPRD Lamongan soal Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2020-2040 Lamongan, Jum’at (24/7/2020), berlangsung panas. Sekalipun pihak pansus sejak awal menetapkan tidak ada debat, tapi masukan pendapat kebanyakan peserta hearing terasa menyengat telinga.
Begitu Ketua Pansus I DPRD Lamongan, Mahfud Shodiq, usai membuka sidang membuka ruang pendapat, langsung disambut dengan ungkapan pedas. Seperti ungkapan Sholahudin Arroniri dari Forum Diskusi Poros Pantura, kali pertama yang dikritisi soal naskah akademik.
‘’Ekseutif kayaknya terkesan main-main. Masak untuk raperda yang diajukan sebesar ini hanya terdapat naskah akademik setebal 30 lembar yang mirip proposal, ‘’ katanya.
Tidak heran, lanjut Roni, belum lagi soal raperda Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Perencanaan (RDTR BWP) Kecamatan Paciran. Naskah yang diajukan pihak ekeskutif dinilai tanpa perhitungan matang.
‘’Bahkan, bisa dibilang tanpa ada penelitian yang menyangkut dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Kita menilai raperda ini tidak pas. Sebaiknya dikembalikan kepada eksekutif untuk disempurnakan dengan penelitian yang melibatkan banyak elemen masyarakat, ‘’ imbuhnya.
Hal itu dibenarkan kades Kandang Semangkon, Agus, bahwa dia mengaku pernah didatang petugas terkait ini. Tapi hanya sekali, tanpa ada kelanjutan perkembangan soal survei atau penelitian tersebut.
‘’Saya sebenarnya menginginkan diberitahu soal hasil penelitian. Saya tunggu tidak ada kabar, kok tiba-tiba mendapat undangan hearaing di sini, ‘’ tukasnya.
Tidak hanya persoalan pantura. Fatchurrahman, dari akademisi menilai tentang poin isi raperda yang menyebutkan rencana adanya bandara udara di wilayah Kecamatan Sugio. Dinilai tidak tepat, karena wilayah tersebut dikenal merupakan lahan subur bagi pertanian.
Sedang bandara udara sudah pasti membutuhkan lahan tidak sedikit. Bisa ratusan hektare. Berarti, jika bdanara udara di Sugi, jelas akan mematikan lahan subur di wilayah tersebut.
‘’Untuk RTRW, saya juga tidak melihat tentang rencana untuk pembangunan di wilayah perkotaan. Padahal ini lebih penting, karena 10 atau 20 tahun ke depan jelas banyak perubahan, ‘’ ujarnya.
Hampir semua peserta, terdiri dari sejumlah organisasi kemahasiswaan, LSM, lembaga peduli lingkungan hidup dan lembaga lainnya, termasuk sejumlah kepala desa di pantura kebanyakn menolak raperda tersebut. Setidaknya Pansus I berani mengembalikan kepada eksekutif.
‘’Lebih penting lagi soal sumber mata air. Apakah pemerintah sudah melakukan survei dan sebagainya. Mengingat naskah akademi tidak merinci jelas, ‘’ sahut Priyo, dari pengiat sejarah dan purbakala Lamongan.
Suara peserta ditutup Gus Irul dari Peradin, yang sempat menyatakan raperda cacat dan batal demi hukum. Karena masih adanya Perda RTRW 2011-2031 yang dinilai masih berlaku. Sebelumnya hal ini sempat diungkapan Yuliatingsih, Ketua DPC PA GMNI Lamongan
Sesuai prosedur adminsitrasi sudah salah. Jadi bisa disebut cacat dan batal demi hukum. Jadi, lebih baik raperda ini dikembalikan saja,’’ tandasnya, disambut kata setuju dari peserta hearing lainya.
Ketua pansus I Mahfud terlihat merasa cukup mendapat masukan dari rapat yang berlangsung lebih dua jam itu. Hanya, dia mengatakan tetap tidak akan ada jawaban dari pihaknnya.
‘’Apa yang kita dengar dan kita dapat semuanya tercatat. Nantinya akan kita jadikan referensi dan kita sampaikan kepada eksekutif. Hanya, pemkab di sini tidak fair. Ternyata naskah akdemik yang kita terima lebih tebal dibanding yang anda terima, ‘’ tandasnya. (ron)
Editor : Redaksi