Jakarta, bukti.id – Kasus dugaan suap terkaita izin ekspor benih lobster alias benur, di lingkup kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, memasuki tahap pembacaan tuntutan.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, duduk di kursi terdakwa pada sidang kasus tersebut.
"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, telah menerima hadiah atau janji," ujar jaksa, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, (15/4/2021).
Dipaparkan dalam dakwaan, suap diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui Amiril Mukminin, Safri, Ainul Faqih, Andreau Misanta Pribadi, dan Siswadhi Pranoto Loe.
Melalui stafnya itu, Edhy menerima suap sebesar 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau jika dirupiahkan saat ini mencapai Rp1.126.921.950 dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPP), Suharjito.
Kemudian, Edhy juga menerima uang sebesar Rp24.625.587.250. Duit ini diberikan oleh Suharjito dan para eksportir lainnya.
"Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," tukas jaksa.
Disebutkan, pemberian suap ini pun setelah Edhy Prabowo mengeluarkan kebijakan untuk mencabut larangan penangkapan atau pengeluaran lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia.
"Terdakwa selaku Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia berkeinginan untuk memberikan izin pengelolaan dan budidaya lobster dan ekspor Benih Bening loster (BBL) dengan mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia," urai jaksa.
Disebutkan pula, jika selain itu, pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya yaitu Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
"Perbuatan terdakwa menerima uang dari Suharjito dan para eksportir benih lobster lainnya, bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatan terdakwa," ungkap jaksa.
Dengan penerimaan uang suap tersebut, Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pada bagian lain, Edhy Prabowo usai jalani sidang dakwaan terhadap dirinya, dengan wajah tegar melayani sejumlah pertanyaan para jurnalis.
Saat keluar dari gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Edhy optimis bahwa dirinya tidak bersalah atas kebijakan eksport benih lobster.
"Saya dari awal ketika masuk sini, saya tidak bersalah, cuman saya bertanggung jawab atas yang terjadi kementrian saya, saya tidak akan lari dari tanggung jawab saya," kata Edhy usai jalani sidang dakwaan, Kamis (15/4/2021).
Dia berharap disidang pembuktianlah keputusan benar atau salah kebijakan Edhy saat menjadi Menteri KKP ditentukan.
"Saya tinggal menghadapinya di persidangan nanti, saya berharap dipembuktianlah semua akan di ambil keputusan yang terbaik," jelas dia. (hea)
Editor : heddyawan