Jakarta, bukti.id – Perusahaan Listrik Negara (PLN) terancam gulung tikar. Musababnya, perseroan milik negara itu memikul utang mencapai Rp 500 triliun yang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur listrik 35.000 Megawatt.
Angka utang yang hampir setara seperempat APBN 2020 tersebut terakumulasi selama lima tahun. Artinya, per tahun beban utang yang harus dipikul PLN sebesar Rp 100 triliun.
"Karena berutang setiap tahun Rp 100 triliun, maka utang PLN 2019 lalu mendekati Rp 500 triliun. Karena memang kita tidak punya kemampuan biayai investasi 35 ribu MW," kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (25/6/2020) lalu.
Kondisi keuangan PLN diperburuk dengan adanya piutang kompensasi tarif listrik senilai Rp 45,42 triliun yang tak kunjung dibayarkan oleh pemerintah. Kompensasi itu diberikan pemerintah untuk tarif listrik gratis kepada pelanggan 450V dan separuh bayar bagi pelanggan 900V bersubsidi.
Ditambah kerugian yang diderita PLN pada kuartal I/2020 PLN sebesar Rp 38,87 triliun. Merujuk laporan keuangan perusahaan listrik kuartal I 2020, persereon memiliki utang total sebesar Rp 694,79 triliun. Angka itu beraal dari utang jangka panjang Rp 537 triliun dan jangka pendek Rp 157,79 triliun.
Angka utang PLN tersebut naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Maret 2019, total utang PLN senilai Rp 568,97 triliun yang terdiri atas utang jangka panjang Rp 411,81 triliun dan utang jangka pendek Rp 157,16 triliun.
Benarkah beban keuangan berat itu bisa membuat PLN bangkrut?
Ekonom senior Faisal Basri mengamininya. Dia mengaku kaget ketika pertama kali mengetahui kondisi keuangan PLN yang berada di ambang kebangkrutan dari keterangan Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini pada Jumat (24/7/2020).
“Saya kemarin kayak mau nangis ketika ketemu Dirut PLN. Dia bilang sampai sekarang tunggakan pemerintah nol belum dibayar. Akibatnya kalau September belum dibayar, kolaps PLN,” ujar Faisal Basri saat Webinar yang diadakan oleh Universitas Brawijaya secara virtual, Sabtu (25/7/2020) lalu.
Namun Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah tidak sependapat dengan Faisal Basri. Menurut Piter, beban keuangan cukup berat yang dihadapi PLN tidak serta merta akan mengakibatkan perusahaan lat merah itu pailit.
Dalam penilaian Piter, angka utang PLN Rp 500 triliun tersebut masih ada batas wajar. Mengingat, tanggungjawab besar PLN untuk menyediakan pasokan listrik hingga ke daerah-daerah terpencil yang tentunya membutuhkan biaya investasi yang besar.
“Di samping itu, pemerintah juga tidak akan tinggal diam. Tentu akan membantu sokongan dana untuk PLN,” tutur Piter, Senin (27/7/2020).
Piter pun membeberkan catatan utang sejak 2015 yang meningkat hanya mencapai sekitar Rp 220 triliun. Peningkatan utang tersebut juga diikuti dengan peningkatan investasi perseroan yang mencapai sekitar Rp 420 triliun.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua investasi PLN dibiayai oleh utang, tapi juga dari hasil usaha PLN. Dari catatan itu, Piter berpendapat, kondisi keuangan tidak separah yang dipikirkan banyak pihak.
"Kalau dilihat dari peningkatan investasi dan utang PLN, rasionya itu sekitar 50 persen modal sendiri PLN. Jadi menurut saya tidak masalah. Buktinya para investor yang masih mau memberikan utang PLN, kalau begitu buruk, mereka enggak mau lagi," cetusnya.
Kendarti demikian, Piter tak membantah jika kondisi PLN saat ini memang sedang tertekan. Tapi tekanan itu lebih disebabkan permintaan listrik berkurang akibat pandemi Covid-19. Hal ini mengakibatkan aliran kas masuk PLN jauh lebih kecil dibandingkan pada kondisi normal.
Solusinya, lanjut Piter, pemerintah harus segera turun tangan, memberikan sokongan. Khususnya pembayaran dana terutang yang dipakai untuk kompensasi penggratisan tarif listrik Rp 45,42 triliun.
“Supaya tekanan keuangan PLN tidak bertambah berat dan terus merugi. Kalau enggak dibayar PLN kesulitan likuiditas, sementara PLN harus menjalankan operasi berdasarkan aliran uang masuk. Kalau tidak memaksa mereka cari sumber pembiayaan,” tandasnya. (ara)
Editor : Tudji