Jakarta, bukti.id – Saat ini, pandemi Covid-19 menjadi ujian paling berat bagi semua pemimpin negara di dunia. Meski masing-masing sudah berupaya maksimal menanganinya, namun tak sedikit negara yang kewalahan. Sebut saja Amerika Serikat. Negeri berjuluk “Paman Sam” ini justru memiliki jumlah kasus terpapar lebih besar ketimbang China yang notabene negara asal pembawa wabah.
Meski begitu, ada sejumlah negara yang berhasil menekan lonjakan grafik penyakit Corona. Menariknya, negara-negara tergolong tangguh itu setelah diteliti ternyata punya kesamaan. Yakni mayoritas dipimpin oleh seorang wanita.
Kepala Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde mengaku takjub atas temuan ini. Dia pun lantas membandingkan kinerja mereka dengan seorang pemimpin laki-laki.
Menurutnya, perbedaan signifikan itu terletak pada strategi komunikasi dan empati. Cara komunikasi seorang pemimpin wanita dianggapnya lebih jujur. Di sisi lain, mereka juga dinilai punya kepekaan dan kepedulian tinggi. Apresiasi ini diungkapkan Lagarde dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post, belum lama ini.
Dalam pujiannya, Lagarde memberi penekanan khusus pada kebijakan yang digagas Kanselir Jerman, Angela Merkel. Dia menyebut pendekatan berdasarkan sains yang dilakukan Merkel merupakan cermin kepimpinan yang jujur dan transparan.
Itu misalnya mengenai penyampaian data persebaran virus corona dan grafik angka infeksi. Selanjutnya, cara memberi pemahaman dan alasan mengapa wajib memakai masker, perberlakukan pembatasan sosial, hingga penjelasan karantina yang diperlukan.
baca : https://bukti.id/baca-831-pemulihan-harus-diprioritaskan-pada-anak-muda
Sejauh ini, kasus positif Corona di Jerman memang terbilang cukup tinggi. Namun, tingkat kematiannya tercatat jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara yang berpenduduk hampir sama jumlahnya seperti Spanyol, Prancis, Italia dan Inggris.
Daftar Wanita ‘Tangguh’
Banjir pujian pemimpin wanita dalam menangkal penularan penyakit Corona sebelumnya pernah dikupas majalah Forbes. Majalah Ekonomi asal Amerika Serikat ini bahkan menyebut mereka sebagai "contoh kepemimpinan sejati".
Topik serupa juga diulas majalah The Atlantic. Salah satu artikelnya memunculkan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern sebagai pemimpin paling efektif di seluruh dunia saat ini. Semua artikel itu diterbitkan sekitar pertengahan April 2020 lalu.
(Simak Buktigrafis di Bawah Ini)
Seluruh komentator kompak menggarisbawahi beberapa fakta yang sama. Yaitu pemimpin negara yang dianggap berhasil menanggulangi penularan Covid-19 mayoritas dari gender wanita. Meski saat ini, hanya ada 7% pemimpin negara wanita di dunia.
Selain dipimpin seorang wanita, kesamaan lain dari negara-negara yang punya respons baik terhadap krisis kesehatan yaitu ekonominya terbilang maju. Sistem penyokong kesejahteraan negara kerap mencatat angka tinggi pada sebagian besar indikator pembangunan sosial. Di lain pihak, sistem layanan kesehatannya cukup kuat sehingga mampu menangani kondisi darurat.
Tentang Keragaman dan Kebijakan
Berbagai langkah taktis sejumlah negara yang dipimpin seorang wanita kini kian jadi perhatian. Itu setelah mereka membuktikan diri mampu menghalau Covid-19. Mulai dari melakukan pengetesan massal hingga karantina wilayah (lockdown).
Direktur Eksekutif Wanita PBB Phumzile Mlambo-Ngcuka pun menyebut dunia saat ini sangat butuh lebih banyak pemimpin dan perwakilan wanita yang setara di semua tingkat politik.
Peran strategis yang ditunjukkan pemimpin wanita juga bisa dinterprestasikan keberhasilan mereka dalam kancah politik. Ini seperti disampaikan Dr Geeta Rao Gupta, seorang Direktur Eksekutif Program 3D untuk perempuan sekaligus peneliti senior di United Nations Foundation, Amerika Serikat.
"Saya pikir perempuan tidak memiliki satu gaya kepemimpinan yang berbeda dibanding pria. Namun ketika perempuan mewakili posisi kepemimpinan, hal itu mendatangkan keragaman dalam pembuatan kebijakan," Dr Geeta Rao Gupta.
"(Keberadaan perempuan) menciptakan keputusan yang lebih baik karena ada pandangan baik dari pria maupun dari perempuan," paparnya.
Faktor Femininisme
Hani Yulindrasari, psikolog gender sekaligus dosen Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, mengaku sulit menyimpulkan langsung apakah keberhasilan mengatasi wabah Corona karena faktor karakter pemimpin wanita.
"Ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Karena jawaban sederhana seperti ya atau tidak bisa menjebak perempuan sendiri ke dalam stereotype yang seksis," kata Hani.
Namun secara sederhana, doktor studi gender jebolan University of Melbourne ini bisa melihat beberapa hal dari gaya kepemimpinan wanita di negara-negara “tangguh” itu.
"Para pemimpin ini bergerak cepat dan tidak meremehkan masalah pandemi. Menurut saya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan sisi ‘feminin’ kepemimpinan mereka," terang Hani.
Menurutnya, kepemimpinan wanita cenderung lebih disorot. Salah satu alasannya dianggap berbeda dan tidak biasa atau di luar mainstream. Sorotan itulah yang membuat mereka bekerja lebih keras. Bahkan efeknya, etos kinerja mereka bisa meningkat dua kali lipat dari laki-laki. Semua itu semata-mata dilakukan dengan tujuan supaya dihargai sebagai pemimpin.
Untuk itu, pemimpin wanita yang sudah terbiasa bekerja keras akan menyiapkan diri menghadapi risiko dan tidak menganggap risiko tersebut mudah diatasi.
"Hal inilah yang membuat mereka mengambil keputusan dengan cepat," tandas Hani.
Nyawa Dulu, Ekonomi Nanti
Pendekatan lain yang dilakukan Hani Yulindrasari yakni membandingkan antara kebijakan ekonomi dengan kesehatan. Menurutnya, karakter pemimpin wanita ini lebih memprioritaskan nyawa dan kesehatan manusia di atas ekonomi. Prioritas ini juga yang membuat para pemimpin ini bertindak cepat memprioritaskan sektor kesehatan.
Secara konvensional femininitas diasosiasikan dengan kepekaan sosial dan empati. Ini seperti pujian majalah The Atlantic terhadap kepemimpinan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Prioritas terhadap kesehatan warganegara mencerminkan kepeduliannya pada kemanusiaan.
baca : https://bukti.id/baca-824-indonesia-masih-krisis-pasien-covid-tembus-100303-kasus
"Contohnya Donald Trump yang sempat menimbang-nimbang keuntungan dan kerugian ekonomi dari membiarkan banyak orang terinfeksi dengan intervensi minimal atau lockdown. Begitu juga dengan Presiden Jokowi yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sehingga ragu-ragu mengambil keputusan penanganan Covid-19,” papar Hani.
Komunikasi Empatik
Beda gaya komunikasi pemimpin wanita yang cenderung berempati dibanding pemimpin pria tak luput dari pengamatan Hani Yulindrasari.
"Saya membaca tiga pidato pemimpin perempuan Angela Markel, Jacinda Ardern, dan Tsai Ing-Wen tentang kebijakan negaranya dalam menghadapi pandemik ini," kata Hani.
Ketiga pemimpin tersebut menurutnya menggunakan bahasa-bahasa yang membujuk dan empatik yang penuh kepedulian dan kasih.
Keberhasilan mereka ini diperoleh karena para pemimpin tersebut melakukan komunikasi publik yang tegas, jelas, dan terbuka. Mereka mengungkapkan fakta dan data sesuai pendapat para ahli, serta menjelaskan alasan pemilihan suatu langkah penanganan. Selanjutnya, mereka memberikan respons yang cepat. Seperti halnya saat melakukan antisipasi pada masa awal wabah. (aaw)
Editor : Tudji