Ini Kata Pengamat Terkait Sistem Proporsional Tertutup

bukti.id
Suasana Sidang Mahkamah Konstitusi (foto: net)

Jakarta, bukti.id – Simpang-siurnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilihan legislatif (Pileg) 2024 menjadi proporsional tertutup, memantik reaksi sejumlah kalangan. Tak kecuali para pengamat politik Tanah Air.

Ada pengamat yang memprediksi perubahan ke sistem proporsional tertutup alias coblos partai bakal memicu persoalan dan menimbulkan maraknya gugatan, sehingga pelaksanaan Pileg 2024 mundur dari jadwal.

Baca juga: Ini Parpol yang Ajukan Sengketa Pileg 2024

“Nanti akan ada upaya gugat menggugat di MK, itu semua makan waktu, dengan demikian Pemilu tertunda dengan sendirinya,” ujar Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, memprediksi, seperti dikutip RMOL, Rabu (31/5/2023).

Perubahan sistem Pileg, tegas dia, sudah ditolak delapan partai politik (Parpol) yang ada di parlemen, karena dianggap mengebiri kedaulatan rakyat dalam memilih calon pemimpinnya di legislatif.

Dia memprediksi, aksi protes akan dilakukan pihak-pihak itu melalui berbagai cara. Itu menimbulkan efek, stabilitas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pasti terganggu.

Jerry yakin, bocoran putusan MK yang disampaikan pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, sangat mungkin terjadi.

Dalam pengamatan Doktor komunikasi politik lulusan America Global University itu, kelembagaan MK kini telah dipasung rezim dalam bentuk hubungan kekerabatan, sehingga keputusannya ikut mengubah sistem Pileg proporsional terbuka menjadi tertutup.

Baca juga: Merasa Suara Hilang di Pileg 18 Provinsi, PPP Ajukan Gugatan ke MK

Salah satu tujuannya, menurut perkirakan dia, melalui putusan MK itu penguasa bisa langgeng menduduki kursinya.

Sebelumnya, pengamat politik Universitas Nasional, Andi Yusran, menyatakan terdapat tiga argumentasi penting sebagai pertimbangan hakim MK sebelum memutuskan perkara gugatan sistem pemilihan umum proporsional tertutup.

“Pertama, perilaku politik pemilih masih dominan memilih orang ketimbang partai. Misalnya, pada Pemilu 2019 pemilih yang memilih partai hanya kurang dari 30 persen. Di sisi lain, yang memilih orang lebih dari 70 persen. Ini artinya publik masih lebih percaya kepada orang (caleg) ketimbang partai,” papar Andi, kepada jurnalis.

Andi melihat, jika dipaksakan sistem proporsional tertutup akan bisa berefek pada pembesaran suara golongan putih (golput).

Baca juga: Tolak Hasil Pilpres 2024. Tim Ganjar-Mahfud dan AMIN Ajukan Gugatan ke MK

“Argumentasi kedua, sistem proporsional tertutup akan mendistorsi kedaulatan rakyat dan memunculkan kedaulatan partai., butuh waktu yang cukup untuk memperbaiki kelembagaan, fungsi-fungsi dan kinerja partai sebelum sistem proporsional tertutup digunakan,” urai Direktur Eksekutif Lanskap Politik Indonesia (LPI) ini

Ketiga, kata dia, jika nantinya sistem proporsional tertutup yang dipilih maka masa mulai berlaku sistem tersebut tidaklah dapat dipergunakan berlaku surut.

"Artinya, putusan MK itu nantinya baru bisa dipergunakan pada Pemilu 2029. Ini karena tahapan pemilu sudah berlangsung dan prosesi pencalegan sudah dan sedang berlangsung," tutup Doktor Ilmu Politik Universitas Padjajaran itu. (hea)

Editor : heddyawan

Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru