Jakarta, bukti.id,- Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang memasuki Bab IV Tentang Ketenagakerjaan pada Jumat (25/9) menuai perdebatan di Badan Legislasi. Alasan pemerintah memasukkan Undang-undang No 13 Tahun 20 Tentang Ketenagakerjaan ke dalam RUU Cipta Kerja ini juga dipertanyakan anggota Baleg DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah .
“Pemerintah bicara panjang lebar soal perlunya ada perubahan atau perbaikan dari Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Tetapi pemerintah justru tidak menjelaskan alasan kenapa UU No 13/2003 ini perlu dimasukkan ke dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.”
Logikanya, lanjut Ledia, semua Undang-Undang yang dimasukkan ke dalam pembahasan Omnibus Law merupakan undang-undang yang dianggap perlu disederhanakan, atau diubah atau dibuang pasal-pasalnya karena dianggap menghambat semangat membuka peluang invetasi masuk ke Indonesia dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
“Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan banyak berbicara soal hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja atau buruh, tetapi bila kita meneliti pasal demi pasal yang dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja ini justru merugikan pada pekerja atau buruh di Indonesia, sehingga menjadi bertolak belakang dengan semangat untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia dan cenderung lebih berpihak pada pengusaha atau investor,” lanjutnya.
Dalam perkembangan pembahasan Ledia menyampaikan, sempat mendengar ada yang mengemukakan kalau persoalan daya saing menjadi salah satu alasan mengapa masalah ketenagakerjaan dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja ini. Sekretaris Fraksi PKS ini lantas mengutip data Global Competitiveness Report 2017-2018 yang juga dilansir dalam World Economic Forum yang menyebutkan sejumlah hambatan berbisnis di Indonesia, di antaranya korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tak memadai, instabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, dan rasio pajak.
“Persoalan korupsi dan inefisiensi birokrasi masih menjadi “juara” penghambat bisnis dan investasi di Indonesia. Laporan dari Global Competitiveness Report ini adalah salah satu rujukan di dunia dan selama bertahun-tahun telah mendedahkan persoalan yang tidak jauh berbeda pada hambatan berbisnis di Indonesia. Sementara persoalan yang terkait dengan ketenagakerjaan, seperti disebutkan dalam laporan tersebut ada persoalan etos kerja sendiri masih menjadi persoalan nomor sekian,” ungkapnya.
Karena itu Ledia kemudian menegaskan bahwa fraksinya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta agar Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dikeluarkan dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Persoalan-persoalan utama yang menjadi penghambat investasi seperti korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tak memadai, instabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, inilah yang paling utama harus dikejar dan alhamdulillah sudah kita bahas dalam 10 Bab RUU Cipta Kerja sejak awal pembahasan,” lanjutnya.
Pembahasan hingga 10 bab RUU Cipta Kerja yang berlangsung marathon sejak April lalu memang sudah memasukkan berbagai upaya agar hambatan-hambatan utama berbisnis dan berinvestasi di Indonesia terminimalisasi. (rls/rhm)
Editor : Rahma