Jakarta, bukti.id – Sepekan kemarin, sejumlah ketua umum partai politik pendukung pemerintah datang ke Istana Negara, memenuhi undangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tak ada reaksi berlebih dari kubu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait pertemuan tersebut.
Menurut Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini, pertemuan itu adalah hal yang biasa.
Disebutkan, PKS tetap memilih untuk menjadi oposisi. Bahkan, melihat dan mengevaluasi jalannya pemerintahan di bawah Presiden Jokowi tujuh tahun terakhir, PKS mengatakan justru semakin mantap beroposisi.
“Jangan ragukan sikap oposisi PKS. Sejak awal kami sampaikan oposisi hadir untuk menjaga demokrasi, menghadirkan check and balances, agar pemerintahan tetap on the track berpihak kepada kepentingan rakyat. Kami juga ingin menjaga kehormatan partai-partai yang sejak awal berjuang mendukung Pak Jokowi. Fair kan?” ungkap Jazuli, belum lama berselang, seperti dikutip rri.co.id
Jazuli mengatakan, PKS konsisten memerankan oposisi yang konstruktif dalam mengawal jalannya pemerintahan dengan kritik yang membangun.
Sayangnya, selama 7 tahun pemerintahan Pak Jokowi Indonesia belum menampakkan kemajuan signifikan. Karena itu, bukan hanya PKS tetap menjadi oposisi, tapi PKS justru semakin mantap beroposisi.
“Kami melakukan evaluasi pemerintahan Pak Jokowi setiap tahun. Tiap pemerintahan tentu punya tantangannya sendiri, tapi harus tetap ada ukuran atau parameter objektif yang digunakan sebagai patokan. Dari empat bidang yang kita evaluasi, hasilnya tidak menggembirakan. Makanya kita mantap terus beroposisi secara subtantif,” terang Jazuli.
Selanjutnya, anggota Komisi I DPR RI Dapil Banten ini, memaparkan beberapa evaluasi Fraksi PKS Terhadap Pemerintahan Joko Widodo - Ma'ruf Amin, diantaranya;
Pertama, di bidang ekonomi, PKS menilai pemerintahan saat ini belum mampu mengatasi permasalahan struktural ekonomi sehingga lebih berpihak pada rakyat atau ekonomi kerakyatan sebagaimana amanat Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Akibatnya puluhan tahun Indonesia tidak beranjak status sebagai negara berkembang.
Indonesia terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap), bahkan dalam penilaian Bank Dunia (2021) negara kita turun peringkat menjadi negara berpenghasilan menengah-bawah (lower middle income country).
Angka kemiskinan dan pengangguran masih sangat tinggi apalagi setelah dihantam pandemi. Data BPS Maret 2021 kemiskinan di angka 10,14 % atau setara 27,54 juta. Kesenjangan atau disparitas ekonomi rakyat dan wilayah juga masih sangat lebar.
Laporan TNP2K tahun 2019 mencatat 1% orang kaya Indonesia menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan 10% maka aset yang dikuasi menjadi 70%. Artinya 90% orang Indonesia berebut 30% aset nasional. Selanjutnya, kebijakan importasi masih dominan dalam sejumlah komoditas khususnya di sektor pangan, manufaktur dan energi.
Utang luar negeri terus bertambah dan menjadi beban generasi yang akan datang. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan audit LKKP 2020 telah mengingatkan bahwa utang pemerintah sudah melampaui batas dan kapasitas pengembalian dibanding potensi pendapatan.
Di sisi lain, arah untuk mewujudkan kedaulatan bagi petani, nelayan, pekerja, sdm lokal, serta produk-produk dalam negeri tidak terlihat konsisten, kebijakan hulu dan hilirnya acapkali tidak nyambung.
Kita negara kaya sumber daya alam, hasil bumi dan hasil laut tapi tiap tahun pemerintah masih impor beras hingga garam.
Kedua, di bidang politik dan penegakan hukum yang berkeadilan rapor pemerintah juga tidak menggembirakan. Lembaga internasional The Economist Intellegence Unit (2020) menilai terjadi penurunan indeks demokrasi Indonesia terendah selama 14 tahun terakhir. Merosot ke posisi 64 dari 167 negara.
Posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, dan negara baru eks wilayah kita Timor Leste. Menurut banyak akademisi dan masyarakat sipil, hal ini tidak lepas dari iklim kebebasan berpendapat yang dirasakan ada pengekangan, ada kecenderungan perbedaan pendapat disikapi secara reaktif dan represif.
Kelompok-kelompok kritis merasa dikriminalisasi. Ada persepsi ketidakadilan dalam perlakuan antara kelompok kritis dengan mereka yang kerap membela pemerintah. Ditambah lagi sikap dan perilaku buzzer yang agresif sehingga acapkali menimbulkan segregasi dan alienasi yang mengarah pada disharmoni sosial dan konflik terbuka.
Kita juga masih tersandra kasus-kasus korupsi, konflik kepentingan pengisian jabatan publik dan BUMN, pelanggaran etik dan kepatutan, serta sejumlah praktik maladministrasi, data yang tidak vakid dan akurat, hingga maraknya kasus kebocoran data pribadi.
Ketiga, di bidang pengembangan SDM dan daya saing bangsa, peringkat kita masih di bawah dan kalah dibandingkan sejumlah negara kecil di kawasan. Indeks Pembangunan Manusia kita peringkat 107 dari 189 negara (UNDP, 2020). Daya Saing Global kita peringkat 50, kalah dengan negara-negara kecil di kawasan seperti Singapura, Malaysia, Thailand (WEF, 2019).
Perguruan tinggi kita peringkatnya juga kalah dibanding PT di Singapura, Malaysia, Filipina, Brunei, juga Thailand (THE, 2021). Kita juga dihantui kekhawatiran gagal dalam menangkap peluang bonus demografi dalam sepuluh tahun ke depan.
Keempat, di bidang ideologisasi dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kita semua berharap komitmen kebangsaan makin kokoh dan tidak hanya lip service atau sloganistik. Sayangnya dalam periode pemerintahan Pak Jokowi kita justru dihadapkan pada narasi-narasi yang tidak produktif, alienatif, segregatif, bahkan terkesan menghadap-hadapkan sesama anak bangsa dan kebhinekaan.
Munculnya klaim “aku pancasila, aku NKRI”, merasa paling Pancasilais dan paling NKRI sambil menunjuk kelompok yang berbeda tidak Pancasilais dan tidak NKRI. Munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila yang justru mereduksi sila-sila Pancasila, hingga adanya nuansa-nuansa membenturkan antara agama dan Pancasila, antara Islam dan nasionalisme.
Padahal sebagai bangsa dengan banyak problematika dan tantangan kita membutuhkan persatuan, sinergi, kolaborasi dan solidaritas sosial nasional.
Jazuli juga mengurai sejumlah Visi Oposisi PKS. Jazuli berujar,“PKS sebagai oposisi ingin menjadikan kedaulatan bangsa dalam berbagai dimensinya sebagai visi nasional karena ini syarat negara kita bisa maju dan keluar dari jebakan middle income trap atau negara berkembang selamanya. Untuk itu diperlukan komitmen kebangsaan yang kuat dan kerja-kerja kolektif seluruh elemen bangsa,”.
Bagaimana ekonomi kita berdaulat, rakyat lepas dari kemiskinan, kesenjangan semakin flat, artinya tingkat ekonomi dan distribusi kekayaan semakin merata di masyarakat. Pembangunan tidak bergantung pada utang luar negeri yang terus bertambah tetapi pada kekuatan kolektif bangsa.
Lalu bagaimana SDM kita bisa berdaya di negeri sendiri, dapat bersaing di tingkat global. Petani, nelayan, umkm, pengusaha dan pekerja kita (buruh dan karyawan) menjadi tuan rumah di negeri sendiri, menghadirkan kedaulatan pagan, energi, dan produk dalam negeri.
Produk dalam negeri kita juga semakin kompetitif di pasar ekspor, sebaliknya kita mampu menekan laju importasi pangan, energi, dan produk-produk asing yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri, kita adakan sendiri dengan melimpahnya bahan baku hasil bumi, laut, sumber daya alam dan energi kita.
Di ranah sosial politik, PKS ingin menghadirkan politik yang bermartabat dan demokrasi yang sehat dan subtantif. Perbedaan pendapat hal biasa dan dapat ditengahi dengan dialog dan musyawarah.
Merangkul bukan memukul. Terus mengembangkan silaturahim kebangsaan dengan seluruh elemen dalam rangka mengokohkan persatuan, kerjasama, sinergi dan kolaborasi. Serta mengokohkan konsensus nasional yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai kesepakatan bersama.
Jazuli menutup dengan pernyataan,“Harapan-harapan tersebut belum mampu diwujudkan oleh pemerintahan Pak Jokowi selama dua periode ini, karenanya PKS semakin mantap beroposisi untuk mengawal dan mengoreksi jalannya pemerintahan. Mendorong pemerintah merealisasikan transformasi struktural ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat dan kemandirian nasional,”. (hea)
Editor : heddyawan