Jakarta, bukti.id - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan terus melakukan upaya penanganan darurat pasca banjir. Terkait itu Bupati Luwu Utara menetapkan status tanggap darurat selama 30 hari, terhitung dari 14 Juli hingga 12 Agustus 2020.
BPBD dan instansi terkait juga berupaya melakukan penanganan darurat. Penanganan para penyintas dan pendataan di lapangan. Mengoptimalkan penanganan pascabencana, termasuk mengaktifkan pos komando yang berada di Kantor BPBD Kabupaten Luwu Utara. Salah satu operasi darurat yang menjadi prioritas yakni pencarian dan evakuasi korban yang hilang.
Kebutuhan mendesak yang diperlukan untuk pemenuhan dasar para penyintas antara lain suplai air bersih, obat-obatan, kebutuhan balita (susu dan popok), popok lansia, pakaian dalam wanita, selimut dan sarung serta peralatan pembersih rumah.
Sebelumnya diinformasikan mengenai padamnya listrik, infrastruktur ini telah kembali normal. Namun, beberapa titik masih terjadi pemadaman. Fasilitas air dari PDAM setempat masih belum dapat beroperasi.
Kepala Pelaksana BPBD Luwu Utara Muslim Muchtar mengatakan sekitar 15 ribu jiwa mengungsi akibat banjir bandang.
“Sesuai laporan ke posko BPBD terdapat 23 warga hilang, ini data sementara. Korban yang mengungsi akibat banjir sebanyak 15 ribu jiwa tersebar di beberapa titik posko, rumah kerabat dan keluarga,” kata Muslim.
Sementara, Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB melaporkan 15 orang masih dalam pencarian. Korban meninggal disebutkan berjumlah 30 orang. Sebelumnya, 539 personel gabungan SAR mencari dan mengevakuasi warga yang hanyut akibat banjir. Kejadian ini mengakibatkan puluhan orang dirawat di rumah sakit dan puskesmas. Lebih dari 3.500 keluarga mengungsi.
Sebanyak 3.627 KK atau 14.483 jiwa mengungsi di tiga kecamatan. Mereka tersebar di pengungsian di Kecamatan Sabbang, Baebunta dan Massamba.
Sementara itu, kerugian material sementara tercatat 10 unit rumah hanyut dan 213 lain tertimbun pasir yang bercampur lumpur. Sedangkan infrastruktur publik, satu kantor koramil terendam air dan lumpur setinggi 1 meter. Selain itu, jembatan antar desa terputus dan jalan lintas provinsi tertimbun lumpur antara 1 hingga 4 meter. Beberapa akses jalan putus karena terendam lumpur tebal, sedangkan lahan pertanian yang rusak masih dalam proses pendataan.
Alat berat diturunkan guna pembersihan material lumpur di jalan trans Sulawesi Selatan – Sulawesi Tengah.
Banjir bandang itu terjadi pada Senin lalu (13/7) berdampak di enam kecamatan yaitu Kecamatan Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke dan Malangke Barat.
Hasil analisis sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat dua faktor penyebab banjir bandang Luwu Utara, yakni alam dan manusia.
Curah hujan dengan intensitas tinggi di daerah aliran sungai (DAS) Balease menjadi salah satu pemicu banjir bandang tersebut. Termonitor curah hujan lebih dari 100 mm per hari serta kemiringan lereng di bagian hulu DAS Balease sangat curam. Desa Balebo yang dilewati DAS ini berada pada kemiringan lebih dari 45 persen.
Selain faktor cuaca, kondisi tanah berkontribusi terhadap terjadinya luncuran material air dan lumpur. Jenis tanah distropepts atau inceptisols memiliki karakteristik tanah dan batuan di lereng yang curam mudah longsor, yang selanjutnya membentuk bending alami atau tidak stabil. Kondisi ini mudah jebol apabila ada akumulasi debit air tinggi.
Faktor alam, bahwa DTA banjir di Desa Balebo, Kecamatan Masamba masuk kategori banjir limpasan tinggi sampai ekstrem, sedangkan DTA banjir di Desa Radda, Kecamatan Baebunta dan Desa Malangke Kecamatan Malangke sebagian besar berada pada kategori banjir genangan tinggi.
Sedangkan faktor manusia, terpantau di lokasi adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan massif perkebunan kelapa sawit. Terkait dengan pembukaan lahan ini, salah satu rekomendasi dari KLHK yakni pemulihan lahan terbuka di daerah hulu. (tji)
Editor : Tudji