JAKARTA, bukti.id - Putusan Mahkamah Konstitusi menandai coretan merah pada rekam jejak politik mantan terpidana kasus korupsi. Karena itu, dalam momentum Pilkada serentak 2020 ini partai politik dan penyelenggara pemilu kembali diingatkan agar lebih jeli dalam menetapkan bakal calon kepala daerah.
Secara tegas, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak meloloskan bakal calon kepala daerah berstatus mantan terpidana korupsi yang terbukti belum lima tahun bebas dari penjara. Organisasi aktivis antikorupsi itu juga memberi warning parpol agar tidak menjatuhkan rekomendasi kepada bekas koruptor.
"Parpol tidak boleh mengusung mantan narapidana korupsi. Penyelenggara pemilu harus ikut patuh dan berhati-hati dalam memeriksa berkas pencalonan," kata peneliti ICW Egi Primayogha dalam keterangannya, Kamis (30/7/2020).
Diketahui, MK melalui putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan, mantan terpidana korupsi harus menunggu hingga 5 tahun setelah keluar dari penjara untuk dapat maju kembali dalam Pilkada. Putusan itu mengabulkan permohonan yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Pemilu). Ketika itu ICW dan Perludem mengajukan uji materi terhadap UU nomor 10/2016 tentang Pilkada.
Selanjutnya, berdasar putusan MK tersebut penyelenggara pemilu mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 1 Tahun 2020. Dalam aturan itu KPU melarang mantan terpidana korupsi yang belum lima tahun bebas dari penjara ikut serta dalam kontestasi pilkada.
"Klausul-klausul itu semestinya menghentikan niat mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Seluruh pihak juga harus patuh terhadap putusan MK," tegasnya.
Lebih luas lagi, ICW juga meminta masyarakat tidak mendukung orang yang pernah dipenjara karena kasus rasuah menjadi calon kepala daerah. Selain itu, masyarakat diharapkan bisa turut mengawasi dan memastikan bekas napi korupsi tidak running di Pilkada.
Menurut ICW, integritas merupakan salah satu prasyarat utama yang harus dimiliki caon kepala daerah. Syarat ini akan ikut memastikan pemimpin daerah hasil pemilihan langsung adalah sosok yang bersih dan berkualitas.
“Jika mantan narapidana kasus korupsi maju sebagai calon kepala daerah, maka cita-cita itu akan tercoreng. Apalagi, mantan terpidana kasus korupsi yang kembali menduduki kekuasaan rawan mengulangi perbuatannya," kata Egi.
ICW mencontohkan kasus mantan Bupati Kudus, Muhammad Tamzil yang dua kali terjerat kasus korupsi. Pada 24 Februari 2015, Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman 22 bulan pidana penjara kepada Bupati Kudus periode 2003-2008 itu karena terbukti korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus.
Namun belum genap dua tahun pasca bebas dari penjara, Tamzil mencalonkan diri lagi di Pilkada Kudus tahun 2018 dan terpilih sebagai Bupati. Parahnya, pada Juli 2019, Tamzil kembali diciduk Komisi Pemberantasan Korupi karena kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Kudus. (ara)
Editor : Tudji