Jakarta, bukti.id - Lantaran, Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian menyebut akan ada potensi krisis pangan dunia, di Agustus 2020. Dasar itu disikapi serius oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kepada sejumlah menterinya di Kabinet Indonesia Maju (KIM), Joko Widodo memerintahkan untuk melakukan terobosan mengantisipasi terjadinya krisis pangan di negeri ini.
Joko Widodo menyebut 30% wilayah yang masuk zona musim akan mengalami kemarau lebih kering dari biasanya. Tak ingin berdampak buruk untuk ketersediaan serta menjaga stabilitas harga pangan, jurus antisipasi dikeluarkan. Itu ditegaskan saat membuka Rapat Terbatas (Ratas) mengantisipasi dampak kekeringan dan ketersediaan bahan pokok di Istana Merdeka, Selasa (5/5). Kalimantan Tengah (Kalteng) diincar jadi kawasan food estate atau lumbung pangan alternatif selain Pulau Jawa.
Baca juga: Investasi Harus Bernilai Tambah dan Ramah Lingkungan
Kerahkan Menteri Wujudkan Impian
Jajaran menteri diharapkan bisa melakukan tugas itu, diantaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sempat muncul tanya di DPR kenapa Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo tidak dilibatkan. Kabar yang berhembus, kinerja Kementan dinilai tidak maksimal, dan terancam masuk daftar reshuffle.
Tak munculnya nama Yasin Limpo, Anggota Komisi IV DPR Fraksi PDI Perjuangan Ono Surono menyebut, itu aneh. Menurutnya, Yasin Limpo harus dilibatkan karena tupoksinya. Kementan dikatakan memiliki analisis dan pastinya soal data terkait, misalnya luasan lahan rawa gambut yang ada di Kalimantan. Dan apakah bisa ditanami padi atau jenis tanaman pangan lain atau tidak.
Senada, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi juga menyebut aneh langkah yang tidak menyertakan Mentan Yasin Limpo. "Ini sinyal, Mentan tidak aman posisinya, yang perlu dievaluasi atau bahkan di reshuffle," ujar Uchok.
Keputusan mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut untuk urusan pangan dan berkaitan akan datangnya musim kemarau harus dihitung cermat. Atas dasar itu kemudian muncul instruksi diantaranya juga menyiapkan ketersediaan air di daerah sentra produksi pertanian. Selain program cetak sawah di Kalimantan.
"Untuk urusan yang berkaitan dengan musim kemarau betul-betul harus kita hitung. Karena berdasarkan prediksi dari BMKG 30 persen wilayah-wilayah yang masuk zona musim ke depan akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya," kata Presiden Joko Widodo saat memimpin Rapat Terbatas (Ratas) antisipasi dampak kekeringan terhadap ketersediaan bahan pokok, dikutip dari https://setkab.go.id, Selasa (5/5/2020).
Uchok menilai, saat pandemi Covid-19 ini Presiden Joko Widodo butuh gerbrakan yang (harus) dilakukan oleh para menteri di kabinetnya. Yakni ide-ide dan gagasan besar guna menjamin ketersediaan pangan. Namun, bisa jadi Mentan dinilai tak seperti yang diharapkan. Menurut Uchok, harusnya saat pandemi mulai masuk, Mentan Yasin Limpo siap dengan konsep kuat untuk jaminan ketahanan pangan, bukan malah menghilang.
"Soal stok beras, misalnya, kata Uchok, seyogyanya Mentan sudah memikirkan dengan matang jika pandemi berlanjut dan stok menipis, apa yang harus dilakukan jika produski juga tak bisa menutupi," katanya.
Dia mencontohkan negara tetangga, di saat pandemi, Thailand dan Vietnam sudah tidak mengekspor beras mereka, itu menjadi jaminan ketahanan pangan di negaranya.
"Selain mengurusi soal produksi yang kemungkinan juga belum bisa teratasi, Mentan harus bisa menjaga ketahanan pangan dengan mencari sumber lain agar tidak terjadi kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan," ucapnya.
Sementara, soal tupoksinya sebagai Mentan, Yasin Limpo pastinya tak mau disudutkan, dia berkomitmen di pandemi Covid-19 ini telah melakukan langkah strategis. Diantaranya, mempercepat musim panen dan membuat produksi beras surplus. Kementerian yang dipimpinnya menyiapkan 7,4 juta hektare lahan sawah guna mendukung percepatan musim panen.
"Kita ingin menghasilkan 15 juta ton beras," kata Yasin Limpo di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Yasin Limpo menyebut ketersediaan beras per Juni 2020 sebanyak 7,49 juta ton. Dengan prediksi panen ketersediaan pangan hingga akhir Desember 2020, mencapai 22 juta ton.
Perlukah Progam Cetak Sawah?
Program cetak sawah, Uchok mengingatkan agar pemerintah belajar dari kegagalan program serupa sebelumnya. Dikutip dari Tempo, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana mengatakan bahwa program cetak sawah akan mengulang kegagalan di masa Orde Baru, yang meluncurkan 'Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar'. Wahyu menyebut cetak sawah di lahan gambut akan membuat ekosistem rusak. Juga akan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan saat musim kemarau serta banjir di musim hujan. Pihaknya pun mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana itu.
Baca juga: Pemerintah Perluas Wajib Belajar dan Bantuan Pendidikan. Dana Triliunan
"Berhenti memakai alasan pandemi (Covid-19) untuk mengeksploitasi alam," kata Wahyu.
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori pun melontarkan kritik, peralihan fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian tak realistis. Dibutuhkan teknologi khusus agar program tersebut berhasil.
"Butuh waktu dan biaya besar," kata Khudori.
Direktur Wetlands Internasional Indonesia, Nyoman Suryadiputra pun sama, kritik juga terlontar ke pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berencana cetak sawah termasuk di lahan gambut.
"Jangan sembarangan mau mencetak lahan gambut, perlu kajian mendalam dan komprehensif," ucapnya.
Tanaman yang cocok di lahan gambut pun ada seperti sagu dan talas. Antara lain yang jadi rencana Badan Restorasi Gambut (BRG). Nazir Foead, yang mengatakan tanaman pangan paling mungkin dan bisa cepat di lahan gambut adalah hortikultura, seperti talas, sagu, lidah buaya, dan nenas.
Apakah Makanan Pokok Hanya Beras?
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera juga menyayangkan, pemerintah tak melirik sumber pangan lokal yang lahir dari kearifan lokal masyarakat. Rencana mencetak sawah merupakan kebijakan ‘kepanikan semata’. Jika pemerintah serius, pandemi Covid-19 bisa menjadi kesempatan untuk menata sistem pangan di Indonesia yang berkelanjutan.
"Caranya, memberdayakan sumber daya lokal dan menguatkan pangan itu sendiri," kata Tejo Wahyu.
Baca juga: GKMNU Lahir, Wujudkan Ketahanan Nasional Berbasis Ketahanan Keluarga
Lainnya, Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif, juga mengingatkan jangan sampai rencana pencetakan sawah di lahan gambut menimbulkan permasalahan baru. "Secara tradisional, masyarakat Indonesia memiliki sejumlah makanan pokok. Jadi, memaksakan seluruh rakyat Indonesia tergantung pada beras, itu tidak sesuai tradisi dan kearifan lokal Nusantara yang beragam," terangnya.
Peringatan FAO yang mengingatkan dunia akan terjadi kelangkaan dan darurat pangan selayaknya tak disikapi panik. Apalagi menterjemahkan bahan pangan pokok hanya beras. Sehingga muncul kebijakan cetak sawah ratusan ribu hektar. Parahnya, antara lain akan dilakukan di lahan gambut, itu perlu dikaji dengan teliti.
Harus di ingat, Indonesia punya cerita kelam pembukaan sawah satu juta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, gagal total. Masalah yang muncul dari kerusakan lahan gambut pun dirasakan hingga kini, salah satunya kebakaran hutan dan lahan yang terus terulang.
Mengantisipasi pengalaman buruk itu terulang, disarankan jajaran terkait memetakan kebutuhan bahan pokok memasuki kemarau dan mengawasi rantai pasok dan ketersediaan pangan di pasaran. Diantaranya, memperhatikan supply chain petani mendapatkan perlindungan yang baik. Hindari praktik curang dan tak sehat, serta menerapkan prinsip tata kelola yang baik.
Namun, strategi Presiden Joko Widodo itu ditanggapi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Dia mengatakan, Presiden memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka persawahan baru, terutama di lahan gambut yang sudah disiapkan di masa lalu, seluas 900 ribu hektar di Kalimantan Tengah.
"Sudah siap 300 ribu hektar, juga dikuasai BUMN ada sekitar 200 ribu hektar," kata Airlangga.
Dia menyebut sudah mendapatkan laporan dari BMKG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahwa kecukupan curah hujan di Pulang Pisau, Kalteng, masih bagus sampai November 2020, dan kebutuhan air relatif ada. Ditambahkan, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diminta berkonsentrasi menciptakan lumbung pangan di lokasi itu.
Apakah Mentan Airlangga tak ingat wacana sejarah kelam Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di masa Orde Baru 1995, ternyata gagal total, terbengkalai dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. (tji)
Editor : Tudji