Jakarta: Isu gempa megathrust di Indonesia belakangan menjadi bahan perbincangan di lapisan masyarakat.
Sas-sus itu kian mengemuka pasca gempa dahsyat berkekuatan 7,1 Skala Richter (SR) terjadi di Pulai Kyushu, Jepang, Kamis (8/8/2024) lalu.
Menyikapi isu tersebut, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono memperingatkan, gempa dari dua zona megathrust, yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut, hanya tinggal tunggu waktu.
“Alasannya, dua zona itu sudah lama tak mengalami gempa atau ada seismic gap, yakni lebih dari dua abad. Biasanya, gempa besar punya siklusnya sendiri dalam rentang hingga ratusan tahun,” ujar Daryono.
Namun BMKG sendiri belum dapat memastikan kapan bencana alam itu bakal terjadi.
Menguatkan pernyataan Daryono, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut, pihaknya terus membicarakan isu ini agar masyarakat bersiap menghadapi efek dari megathrust di Indonesia.
“Sebetulnya isu megathrust itu bukan isu yang baru. Itu isu yg sudah sangat lama. Tapi kenapa BMKG dan beberapa pakar mengingatkan? Tujuannya adalah untuk ‘ayo, tidak hanya ngomong aja, segera mitigasi (tindakan mengurangi dampak bencana),” ujar Dwikorita kepada jurnalis, Minggu (25/8/2024).
“Jadi tujuannya ke sana; mitigasi dan edukasi, persiapan, kesiapsiagaan,” tandas dia.
BMKG, imbuh Dwikorita, sudah melakukan berbagai langkah antisipasi megathrust. Pertama, menempatkan sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS menghadap ke zona-zona megathrust.
“InaTEWS itu sengaja dipasang untuk menghadap ke arah megathrust. Aslinya tuh di BMKG hadir untuk menghadapi, memitigasi megathrust,” jelas dia.
Kedua, edukasi masyarakat lokal dan internasional. Salah satu bentuk nyatanya adalah mendampingi pemerintah daerah (pemda) buat menyiapkan berbagai infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga shelter tsunami.
Selain itu, bergabung dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang juga berkantor di kompleks BMKG. Komunitas ini bertujuan buat mengedukasi 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.
“Kami edukasi publik bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemda sebelum terjadi gempa dengan kekuatan tinggi yang menyebabkan tsunami,” kata dia.
Ketiga, mengecek secara berkala sistem peringatan dini yang sudah dihibahkan ke pemda.
“Sirine (peringatan tsunami) harusnya tanggung jawab pemerintah daerah, hibah dari BNPB, hibah dari BMKG, tapi pemeliharaan dari pemerintah daerah, kan otonomi daerah. Ternyata sirine selalu kita tes tanggal 26 (setiap bulan), kebanyakan bunyi tapi yang macet ada,” ujar dia mengingatkan.
Keempat, menyebarluaskan peringatan dini bencana.
“Jika masyarakat harus siap, berarti harus ada penyebarluasan informasi. Kami dibantu Kominfo,” tandas Dwikorita. (aditya)
Editor : heddyawan