Surabaya, bukti.id - Untuk Pilwali Kota Surabaya, hingga hari ini belum muncul nama pasangan yang dijagokan oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Sementara, kabupaten/kota lainnya telah mengumumkan pasangan nama yang siap maju di pemilihan kepala daerah, di wilayahnya masing-masing.
Sesuai Surat DPP PDI Perjuangan, No 1682/IN/DPP/VII/2020, yang ditandatangani oleh Ketua Bambang Wuryanto dan Sekretaris Hasto Kristiyanto, nama-nama itu adalah, untuk Kabupaten Kediri, muncul Hanindhito Himawan Pramana dan Dewi Maria Ulfa; Kota Pasuruan, Raharto Teno Prasetyo dan M Mochammad Hasjim Asjari; Kota Blitar adalah Santoso dan TjukTjuk Sunario; Kabupaten Trenggalek adalah M Nur Arifin dan Syah Muhammad Natanegara; Kabupaten Blitar adalah Rijanto dan Marhaenis; Kabupaten Mojokerto Pungkasiadi dan Titik Mas'udah.
Sementara, untuk Kota Surabaya belum memunculkan siapa nama yang akan diusung di pemilihan Walikota Surabaya yang akan digelar Desember 2020.
Hari Fitrianto pengamat politik dari Univestitas Airlangga (Unair) Surabaya menjabarkan, kalau posisi PDI Perjuangan, saat ini tidak seperti di jamannya Tri Rismaharini dulu, yang sangat menguntungkan, dengan memunculkan pasangan Bambang DH-Tri Rismaharini. Hari menyebut, pasangan yang akan dijagokan untuk maju di pemilihan wali kota dan wakil walikota harus benar-benar diperhitungkan dengan matang. Tidak boleh salah pilih jika partai Kepala Banteng Moncong Putih itu, ingin kembali mengulang kemenangannya.
"Kondisi PDI Perjuangan di Surabaya saat ini tidak sebagus dijamannya Tri Rismaharini. Saat itu, Risma meski belum dikenal, tetapi sangat diuntungkan dengan posisi Bambang DH, yang elektabilitasnya cukup tinggi," kata Hari Fitrianto, dihubungi Jumat (17/7/2020).
Saat itu Risma dianggap sosok yang netral dan Bambang DH adalah kader partai yang cukup kuat dengan elektabilitas yang tinggi dan mampu mendongkrak menuju kemenangan. Saat itu, murni pasangan milik PDI Perjuangan, dan hampir tidak ada tandingan. "Saat itu hampir tidak ada partai yang mampu menandingi PDI Perjuangan," katanya.
Masih kata Hari, sebaliknya, untuk menjawab kondisi saat ini PDI Perjuangan harus jeli dalam memunculkan nama untuk maju di pemilihan Wali Kota dan Wakil Walikota Surabaya. Dan, jika Risma yang sengaja atau tidak memunculkan sosok Erik Cahyadi. Menurut Hari, kalau mau jujur, kondisinya jika dipaksakan akan sangat merugikan. Karena, selain Erik sebagai ASN, masih banyak nama lain utamanya di internal partai yang elektabilitasnya tinggi.
"Kita tahu, di internal partai ada Whisnu, meski angkanya masih dibawah 50 persen Whisnu masih tinggi. Dan, perlu dipahami bahwa PDI Perjuangan di Surabaya saat ini memiliki tantangan yang sangat tinggi, misalnya dengan munculnya sosok Mahfud Arifin, yang merupakan challenge tersendiri," urainya.
Menurutnya, jika yang dimunculkan Erik Cahyadi, akan sangat tidak menguntungkan. Karena tidak ada jaminan siapa yang akan menjadi pendongkrak untuk mewujudkan kemenangan di Pilkada Kota Surabaya, karena kondisinya sangat berbeda dengan dijamannya Risma-Bambang DH.
Dan, untuk menjaga keutuhan serta menghindari keretakan di internal partai dan mengantisipasi ketidakharmonisan di pemerintahan. Hari menjelaskan, di birokrat ada sistem rangking dan angkatan. Artinya, di atas Eri masih banyak ASN senior.
"Tetapi karena tidak mendapat endorsement, itu akan menimbulkan 'kecemburuan'. Ini yang harus dihindari oleh PDI Perjuangan," ucapnya.
Artinya, PDI Perjuangan tidak boleh salah pilih jika ingin kembali mengulang kemenangan di Pilwali Kota Surabaya. Apakah partai ini kembali bisa membuat kejutan dengan memunculkan pasangan calon yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat Kota Surabaya, atau justru jika salah pilih akan mendapat kegagalan mempertahankan kemenangan beruntun.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menghadapi Pilwali Kota Surabaya PDI Perjuangan harus cermat memunculkan pasangan calon. Jika salah pilih, PDI Perjuangan akan terganjal dengan koalisi besar yang mengusung Mahfud Arifin.
"PDI Perjuangan harus cermat menentukan calon yang akan diusung di Pilwali Kota Surabaya, jika tidak, akan sangat tidak menguntungkan," kata Khairul Fahmi.
Dia mengatakan, isu adanya tiga faksi di tubuh PDI Perjuangan di Surabaya yaitu faksi Bambang DH (mantan Wali Kota Surabaya), faksi Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) dan faksi Whisnu Sakti Buana (mantan Ketua DPC PDI Perjuangan yang juga Wakil Wali Kota Surabaya) sudah menjadi perbincangan umum.
Dia menyebut, jika DPP PDI Perjuangan tidak cermat menunjuk calon, maka akan kedodoran di tengah jalan. "Jadi PDI Perjuangan minimal harus bisa menyatukan dua dari tiga faksi di Surabaya itu," terang Fahmi.
Seperti diketahui, selama ini Wali Kota Tri Rismaharini 'menggadang-gadang' Kepala Bappeko Surabaya Eri Cahyadi sebagai bakal calon wali kota. Bahkan, saking getolnya dukungan untuk Eri, Risma tidak memberi peluang Whisnu Sakti berperan sebagai Wakil Wali Kota Surabaya.
Soal itu, menurut Fahami, posisi Whisnu bisa dikatakan sebagai calon yang 'lemah'. Namun bukan lemah secara kualitas. "Whisnu itu menjadi lemah karena efek dari dominasi Risma sebagai memimpin Surabaya. Tetapi secara kualitas, Whisnu adalah orang yang sangat mumpuni," katanya.
Meski selama ini sorotan media massa lebih banyak condong kepada Risma dan Eri dibanding kepada Whisnu. Masih kata Fahmi, dalam konstelasi politik menjelang Pilkada kans Whisnu untuk mendapat rekomendasi sebagai calon wali kota dari PDI Perjuangan sangat besar.
Dia menyebut, karena posisi dan kekaderan Whisnu 'nyambung' dengan faksi Bambang DH. Artinya, mesin politik PDI Perjuangan akan solid untuk memenangkan Pilkada di Kota Surabaya.
"Saya kira Whisnu juga orang yang cukup sabar. Dia tipe orang yang bisa menahan diri. Berbeda dengan Risma, bisa dikatakan kurang nyambung dua faksi lainya. Komunikasi Risma dengan DPC PDIP Surabaya terlihat tidak terjalin dengan bagus. Nggak tahu apakah hal itu juga terjadi pada DPC PDI Perjuangan yang sekarang," ucapnya.
Risma yang dinilai 'menganak emaskan' Eri Cahyadi telah menciptakan ketidakharmonisan di lingkungan birokrasi Pemkot Surabaya. Seorang kepala dinas bahkan menyatakan, banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Surabaya yang lebih pantas, mumpuni dan bersih dibanding Eri Cahyadi.
Fahmi menyebut, Risma menjadi fenonemal ketika sukses membangun insfrastruktur di Surabaya, namun 'gagal' dalam menangani pandemi COVID-19, ini juga akan berkorelasi dengan bagaimana nantinya peluang Eri Cahyadi? Diakui atau tidak, posisi Eri ada di bahu Risma. Nama Eri terkatrol akibat endorse politik Risma. Posisi Risma sebagai media darling selama manjabat justru tidak menguntungkan rekan duetnya, yaitu Whisnu Sakti Buana.
Jika dipaksakan memunculkan Eri Cahyadi, itu sama dengan mempersulit konsolidasi PDI Perjuangan di Surabaya. "Cukup berisko (untuk PDI Perjuangan) jika memberikan rekomendasinya kepada Eri. Dan, sama saja (PDI Perjuangan) tidak memberikan peluang kepada kader-kader potensial lainnya di Pilkada Kota Surabaya. (tji)
Editor : Tudji